Tahukah Anda bahwa karena sebuah
bukulah maka bangsa Belanda bisa sampai di Nusantara dan melakukan penjajahan
atas bumi yang kaya raya ini selama berabad-abad? Buku tersebut berjudul
"Itinerario naer Oost ofte Portugaels Indien", yang ditulis Jan
Huygen van Linshoten di tahun 1595. Inilah kisahnya:
Jauh sebelum Eropa terbuka matanya
mencari dunia baru, warga pribumi nusantara hidup dalam kedamaian. Situasi ini
berubah drastis saat orang-orang Eropa mulai berdatangan dengan dalih
berdagang, namun membawa pasukan tempur lengkap dengan senjatanya. Hal yang
ironis, tokoh yang menggerakkan roda sejarah dunia masuk ke dalam kubangan
darah adalah dua orang Paus yang berbeda. Pertama, Paus Urbanus II, yang
mengobarkan perang salib untuk merebut Yerusalem dalam Konsili Clermont tahun
1096. Dan yang kedua, Paus Alexander VI.
Dalam tempo beberapa tahun saja,
Belanda telah menjajah Hindia Timur dan hal itu berlangsung lama hingga baru
merdeka pada tahun 1945. Perang Salib tanpa disadari telah membuka mata orang
Eropa tentang peradaban yang jauh lebih unggul ketimbang mereka. Eropa
mengalami pencerahan akibat bersinggungan dengan orang-orang Islam dalam Perang
Salib ini. Merupakan fakta jika jauh sebelum Eropa berani melayari samudera,
bangsa Arab telah dikenal dunia sebagai bangsa pedagang pemberani yang terbiasa
melayari samudera luas hingga ke Nusantara.
Bahkan kapur barus yang merupakan
salah satu zat utama dalam ritual pembalseman para Fir’aun di Mesir pada abad
sebelum Masehi, didatangkan dari satu kampung kecil bernama Barus yang berada
di pesisir barat Sumatera tengah. Dari pertemuan peradaban inilah bangsa Eropa
mengetahui jika ada satu wilayah di selatan bola dunia yang sangat kaya dengan
sumber daya alamnya, yang tidak terdapat di belahan dunia manapun.
Negeri itu penuh dengan karet, lada,
dan rempah-rempah lainnya, selain itu Eropa juga mencium adanya emas dan batu
permata yang tersimpan di perutnya. Tanah tersebut iklimnya sangat bersahabat,
dan alamnya sangat indah. Wilayah inilah yang sekarang kita kenal dengan nama
Nusantara. Mendengar semua kekayaan ini Eropa sangat bernafsu untuk mencari
semua hal yang selama ini belum pernah didapatkannya.
Paus Alexander VI pada tahun 1494
memberikan mandat resmi gereja kepada Kerajaan Katolik Portugis dan Spanyol
melalui Perjanjian Tordesillas. Dengan adanya perjanjian ini, Paus Alexander
dengan seenaknya membelah dunia di luar daratan Eropa menjadi dua kapling untuk
dianeksasi. Garis demarkasi dalam perjanjian Tordesilas itu mengikuti lingkaran
garis lintang dari Tanjung Pulau Verde, melampaui kedua kutub bumi. Ini
memberikan Dunia Baru kini disebut Benua Amerika kepada Spanyol. Afrika serta
India diserahkan kepada Portugis.
Paus menggeser garis demarkasinya ke
arah timur sejauh 1.170 kilometer dari Tanjung Pulau Verde. Brazil pun jatuh ke
tangan Portugis. Jalur perampokan bangsa Eropa ke arah timur jauh menuju
kepulauan Nusantara pun terbagi dua. Spanyol berlayar ke Barat dan Portugis ke
Timur, keduanya akhirnya bertemu di Maluku, di Laut Banda. Sebelumnya, jika dua
kekuatan yang tengah berlomba memperbanyak harta rampokan berjumpa tepat di
satu titik maka mereka akan berkelahi, namun saat bertemu di Maluku, Portugis
dan Sanyol mencoba untuk menahan diri.
Pada 5 September 1494, Spanyol dan
Portugal membuat perjanjian Saragossa yang menetapkan garis anti-meridian atau
garis sambungan pada setengah lingkaran yang melanjutkan garis 1.170 kilometer
dari Tanjung Verde. Garis itu berada di timur dari kepulauan Maluku, di sekitar
Guam.
Sejak itulah, Portugis dan Spanyol
berhasil membawa banyak rempah-rempah dari pelayarannya. Seluruh Eropa
mendengar hal tersebut dan mulai berlomba-lomba untuk juga mengirimkan
armadanya ke wilayah yang baru di selatan.
Ketika Eropa mengirim ekspedisi laut
untuk menemukan dunia baru, pengertian antara perdagangan, peperangan, dan
penyebaran agama Kristen nyaris tidak ada bedanya. Misi imperialisme Eropa ini
sampai sekarang kita kenal dengan sebutan “Tiga G”: Gold, Glory, Gospel.
Seluruh penguasa, raja-raja, para pedagang, yang ada di Eropa membahas tentang negeri
selatan yang sangat kaya raya ini.
Mereka berlomba-lomba mencapai
Nusantara dari berbagai jalur. Sayang, saat itu belum ada sebuah peta
perjalanan laut yang secara utuh dan detil memuat jalur perjalanan dari Eropa
ke wilayah tersebut yang disebut Eropa sebagai Hindia Timur. Peta bangsa-bangsa
Eropa baru mencapai daratan India, sedangkan daerah di sebelah timurnya masih
gelap.
Dibandingkan Spanyol, Portugis lebih
unggul dalam banyak hal. Pelaut-pelaut Portugis yang merupakan tokoh-tokoh
pelarian Templar (dan mendirikan Knight of Christ), dengan ketat berupaya
merahasiakan peta-peta terbaru mereka yang berisi jalur-jalur laut menuju Asia
Tenggara.
Peta-peta tersebut saat itu
merupakan benda yang paling diburu oleh banyak raja dan saudagar Eropa. Namun
ibarat pepatah,“Sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga”, maka
demikian pula dengan peta rahasia yang dipegang pelaut-pelaut Portugis.
Sejumlah orang Belanda yang telah
bekerja lama pada pelaut-pelaut Portugis mengetahui hal ini. Salah satu dari
mereka bernama Jan Huygen van Linschoten. Pada tahun 1595 dia menerbitkan buku
berjudul Itinerario naer Oost ofte Portugaels Indien, Pedoman Perjalanan ke
Timur atau Hindia Portugis, yang memuat berbagai peta dan deksripsi amat rinci
mengenai jalur pelayaran yang dilakukan Portugis ke Hindia Timur, lengkap
dengan segala permasalahannya.
Buku itu laku keras di Eropa, namun
tentu saja hal ini tidak disukai Portugis. Bangsa ini menyimpan dendam pada
orang-orang Belanda. Berkat van Linschoten inilah, Belanda akhirnya mengetahui
banyak persoalan yang dihadapi Portugis di wilayah baru tersebut dan juga
rahasia-rahasia kapal serta jalur pelayarannya.
Para pengusaha dan penguasa Belanda
membangun dan menyempurnakan armada kapal-kapal lautnya dengan segera, agar
mereka juga bisa menjarah dunia selatan yang kaya raya, dan tidak kalah dengan
kerajaan-kerajaan Eropa lainnya. Pada tahun 1595 Belanda mengirim satu ekspedisi
pertama menuju Nusantara yang disebutnya Hindia Timur. Ekspedisi ini terdiri
dari empat buah kapal dengan 249 awak dipimpin Cornelis de Houtman, seorang
Belanda yang telah lama bekerja pada Portugis di Lisbon. Lebih kurang satu
tahun kemudian, Juni 1596, de Houtman mendarat di pelabuhan Banten yang
merupakan pelabuhan utama perdagangan lada di Jawa, lalu menyusur pantai
utaranya, singgah di Sedayu, Madura, dan lainnya. Kepemimpinan de Houtman
sangat buruk.
Dia berlaku sombong dan besikap
semaunya pada orang-orang pribumi dan juga terhadap sesama pedagang Eropa.
Sejumlah konflik menyebabkan dia harus kehilangan satu perahu dan banyak
awaknya, sehingga ketika mendarat di Belanda pada tahun 1597, dia hanya menyisakan
tiga kapal dan 89 awak. Walau demikian, tiga kapal tersebut penuh berisi
rempah-rempah dan benda berharga lainnya.
Orang-orang Belanda berpikiran, jika
seorang de Houtman yang tidak cakap memimpin saja bisa mendapat sebanyak itu,
apalagi jika dipimpin oleh orang dan armada yang jauh lebih unggul. Kedatangan
kembali tim de Houtman menimbulkan semangat yang menyala-nyala di banyak
pedagang Belanda untuk mengikut jejaknya. Jejak Houtman diikuti oleh puluhan
bahkan ratusan saudagar Belanda yang mengirimkan armada mereka ke Hindia Timur.
Sumber :
http://jodysmoove.blogspot.com/2009/08/penyebab-indonesia-di-jajah-belanda.html
Related :